BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Penyalahgunaan dan
ketergantungan zat yang termasuk dalam katagori NAPZA pada
akhir-akhir ini makin
marak dapat disaksikan dari media cetak koran dan majalah serta media
elektrolit seperti TV dan radio. Kecenderungannya semakin makin banyak
masyarakat yang memakai zat tergolong kelompok NAPZA tersebut, khususnya anak
remaja (15-24 tahun) sepertinya menjadi suatu model perilaku baru bagi kalangan
remaja (DepKes, 2001).
Penyebab
banyaknya pemakaian zat tersebut antara lain karena kurangnya pengetahuan
masyarakat akan dampak pemakaian zat tersebut serta kemudahan untuk
mendapatkannya. Kurangnya pengetahuan masyarakat bukan karena pendidikan yang
rendah tetapi kadangkala disebabkan karena faktor individu, faktor keluarga dan
faktor lingkungan.
Faktor individu yang tampak lebih pada
kepribadian individu tersebut; faktor keluarga lebih pada hubungan individu
dengan keluarga misalnya kurang perhatian keluarga terhadap individu, kesibukan
keluarga dan lainnya; faktor lingkungan lebih pada kurang positif sikap
masyarakat terhadap masalah tersebut misalnya ketidakpedulian masyarakat
tentang NAPZA (Hawari, 2000). Dampak yang terjadi dari faktor-faktor di
atas adalah individu mulai melakukan penyalahgunaan dan ketergantungan akan
zat. Hal ini ditunjukkan dengan makin banyaknya individu yang dirawat di rumah
sakit karena penyalahgunaan dan ketergantungan zat yaitu mengalami intoksikasi
zat dan withdrawal.
Peran penting tenaga
kesehatan dalam upaya menanggulangi penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA di
rumah sakit khususnya upaya terapi dan rehabilitasi sering tidak disadari,
kecuali mereka yang berminat pada penanggulangan NAPZA (DepKes,
2001). Berdasarkan permasalahan yang terjadi di atas, maka perlunya peran
serta tenaga kesehatan khususnya tenaga keperawatan dalam membantu masyarakat
yang di rawat di rumah sakit untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
masyarakat. Untuk itu dirasakan perlu perawat meningkatkan kemampuan merawat
klien dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yaitu asuhan keperawatan
klien penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA (sindrom putus zat).
2.1
Tujuan
1. Mengetahui
pengertian dari penggunaan NAPZA
2. Mengetahui
factor penyebab penggunaan NAPZA
3. Mengetahui
gekal klinis penggunaan NAPZA
4. Mengetahui
dampak penggunaan NAPZA
BAB II
2.1 Pengertian
Penyalahgunaan zat
adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah terjadi
masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap
sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada perilaku psikososial yang
berhubungan dengan ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena
kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi adalah peningkatan jumlah zat untuk
memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat dan toleransi merupakan tanda
ketergantungan fisik (Stuart dan Sundeen, 1995).
Rehabilitasi adalah
upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non
medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita
sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin.
Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial dan
spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan
sesuai dengan kebutuhan (DepKes., 2002).
Sesudah klien penyalahgunaan/ketergantungan
NAZA menjalani program terapi (detoksifikasi) dan komplikasi medik selama 1
(satu) minggu dan dilanjutkan dengan program pemantapan (pasca detoksifikasi)
selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan dapat melanjutkan ke program
berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari, 2000).
Lama rawat di unit
rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena tergantung pada jumlah
dan kemampuan sumber daya, fasilitas dan sarana penunjang kegiatan yang
tersedia di rumah sakit. Menurut Hawari (2000) bahwa setelah klien mengalami
perawatan selama 1 minggu menjalani program terapi dan dilanjutkan dengan
pemantapan terapi selama 2 minggu maka klien tersebut akan dirawat di unit
rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi dan unit lainnya) selama 3-6
bulan. Sedangkan lama rawat di unit rehabilitasi berdasarkan parameter sembuh
menurut medis bisa beragam 6 bulan dan 1 tahun, mungkin saja bisa sampai 2
tahun (Wiguna, 2003).
Berdasarkan pengertian
dan lama rawat di atas, maka perawatan di ruang rehabilitasi tidak terlepas
dari perawatan sebelumnya yaitu di ruang detoksifikasi.
Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah
selesai menjalani detoksifikasi sebagian besar akan mengulangi kebiasaan
menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu
terjadi (DepKes, 2001).
Dengan rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA
dapat:
1. Mempunyai motivasi
kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi
2. Mampu menolak tawaran
penyalahgunaan NAPZA
3. Pulih kepercayaan dirinya,
hilang rasa rendah dirinya
4. Mampu mengelola waktu
dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik
5. Dapat berkonsentrasi
untuk belajar atau bekerja
6. Dapat diterima dan dapat membawa diri
dengan baik dalam pergaulan dengan lingkungannya
2.2 Faktor Penyebab
Penggunaan NAPZA
Faktor penyebab pada klien dengan
penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA meliputi:
1.
Faktor biologic
Kecenderungan keluarga, terutama
penyalahgunaan alcohol. Perubahan metabolisme alkohol yang mengakibatkan respon
fisiologik yang tidak nyaman.
2.
Faktor psikologik
·
Tipe kepribadian ketergantungan
·
Harga diri rendah biasanya sering berhub. dengan penganiayaan
waktu masa kanak kanak
·
Perilaku maladaptif yang diperlajari secara berlebihan
·
Mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit
·
keluarga, termasuk tidak stabil, tidak ada contoh peran yang
positif, kurang percaya diri, tidak mampu memperlakukan anak sebagai individu,
dan orang tua yang adiksi
3.
Faktor sosiokultural
·
Ketersediaan dan penerimaan sosial terhadap pengguna obat
·
Ambivalens sosial tentang penggunaan dan penyalahgunaan berbagai
zat seperti tembakau, alkohol dan mariyuana
·
Sikap, nilai, norma dan sanksi cultural
·
Kemiskinan dengan keluarga yang tidak stabil dan keterbatasan
kesempatan
2.3 Gejala klinis penggunaan NAPZA
1.
Perubahan
Fisik :
·
Pada saat
menggunakan NAPZA : jalan sempoyongan, bicara pelo ( cadel ), apatis ( acuh tak
acuh ), mengantuk, agresif.
·
Bila
terjadi kelebihan dosis ( Overdosis ) : nafas sesak, denyut jantung dan nadi
lambat, kulit teraba dingin, bahkan meninggal.
·
Saat
sedang ketagihan ( Sakau ) : mata merah, hidung berair, menguap terus, diare,
rasa sakit seluruh tubuh, malas mandi, kejang, kesadaran menurun.
·
Pengaruh
jangka panjang : penampilan tidak sehat, tidak perduli terhadap kesehatan dan
kebersihan, gigi keropos, bekas suntikan pada lengan.
2.
Perubahan
sikap dan perilaku :
· Prestasi di sekolah menurun, tidak mengerjakan tugas
sekolah, sering membolos, pemalas, kurang bertanggung jawab.
· Pola tidur berubah, begadang, sulit dibangunkan
pagi hari, mengantuk di kelas atau tempat kerja.
· Sering berpergian sampai larut malam, terkadang
tidak pulang tanpa ijin.
· Sering mengurung diri, berlama – lama di kamar
mandi, menghidar bertemu dengan anggota keluarga yang lain.
· Sering mendapat telpon dan didatangi orang yang
tidak dikenal oleh anggota keluarga yang lain.
· Sering
berbohong, minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tidak jelas
penggunaannya, mengambil dan menjual barang berharga milik sendiri atau
keluarga, mencuri, terlibat kekerasan dan sering berurusan dengan polisi.
· Sering bersikap emosional, mudah tersinggung,
pemarah, kasar, bermusuhan pencurigaan, tertutup dan penuh rahasia.
2.4 Dampak penggunaan NAPZA
NAPZA berpengaruh pada tubuh manusia dan
lingkungannya :
1.
Komplikasi
Medik, biasanya digunakan dalam jumlah
yang banyak dan cukup lama.
Pengaruhnya pada :
Pengaruhnya pada :
a. Otak dan susunan saraf pusat :
·
gangguan
daya ingat
·
gangguan
perhatian / konsentrasi
·
gangguan
bertindak rasional
·
gagguan
perserpsi sehingga menimbulkan halusinasi
·
gangguan
motivasi, sehingga malas sekolah atau bekerja
·
gangguan
pengendalian diri, sehingga sulit membedakan baik / buruk.
b. Pada saluran napas dapat terjadi radang paru
(Bronchopnemonia), pembengkakan paru (Oedema Paru).
c. Pada jantung dapat terjadi peradangan otot jantung serta penyempitan pembuluh darah jantung.
d. Pada hati dapat terjadi Hepatitis B dan C yang menular melalui jarum suntik dan hubungan seksual.
e. Penyakit Menular Seksual ( PMS ) dan HIV/AIDS.
Para pengguna NAPZA dikenal dengan perilaku seks resiko tinggi, mereka mau melakukan hubungan seksual demi mendapatkan uang untuk membeli zat. Penyakit Menular Seksual yang terjadi adalah : kencing nanah (GO), raja singa (Siphilis) dll. Dan juga pengguna NAPZA yang mengunakan jarum suntik secara bersama-sama membuat angka penularan HIV/AIDS semakin meningkat. Penyakit HIV/AIDS menular melalui jarum suntik dan hubungan seksual, selain itu juga dapat melalui tranfusi darah dan penularan dari ibu ke janin.
c. Pada jantung dapat terjadi peradangan otot jantung serta penyempitan pembuluh darah jantung.
d. Pada hati dapat terjadi Hepatitis B dan C yang menular melalui jarum suntik dan hubungan seksual.
e. Penyakit Menular Seksual ( PMS ) dan HIV/AIDS.
Para pengguna NAPZA dikenal dengan perilaku seks resiko tinggi, mereka mau melakukan hubungan seksual demi mendapatkan uang untuk membeli zat. Penyakit Menular Seksual yang terjadi adalah : kencing nanah (GO), raja singa (Siphilis) dll. Dan juga pengguna NAPZA yang mengunakan jarum suntik secara bersama-sama membuat angka penularan HIV/AIDS semakin meningkat. Penyakit HIV/AIDS menular melalui jarum suntik dan hubungan seksual, selain itu juga dapat melalui tranfusi darah dan penularan dari ibu ke janin.
f. Pada sistem Reproduksi sering mengakibatkan kemandulan.
g. Pada kulit sering terdapat bekas suntikan bagi pengguna yang menggunakan jarum suntik, sehingga mereka sering menggunakan baju lengan panjang.
h. Komplikasi pada kehamilan :
g. Pada kulit sering terdapat bekas suntikan bagi pengguna yang menggunakan jarum suntik, sehingga mereka sering menggunakan baju lengan panjang.
h. Komplikasi pada kehamilan :
·
Ibu :
anemia, infeksi vagina, hepatitis, AIDS.
·
Kandungan
: abortus, keracunan kehamilan, bayi lahir mati
·
Janin :
pertumbuhan terhambat, premature, berat bayi rendah.
2. Dampak Sosial :
a.
Di
Lingkungan Keluarga :
·
Suasana
nyaman dan tentram dalam keluarga terganggu, sering terjadi pertengkaran, mudah
tersinggung.
·
Orang tua
resah karena barang berharga sering hilang.
·
Perilaku
menyimpang / asosial anak ( berbohong, mencuri, tidak tertib, hidup bebas) dan
menjadi aib keluarga.
·
Putus
sekolah atau menganggur, karena dikeluarkan dari sekolah atau pekerjaan,
sehingga merusak kehidupan keluarga, kesulitan keuangan.
·
Orang tua
menjadi putus asa karena pengeluaran uang meningkat untuk biaya pengobatan dan
rehabilitasi.
b.
Di
Lingkungan Sekolah :
·
Merusak
disiplin dan motivasi belajar.
·
Meningkatnya
tindak kenakalan, membolos, tawuran pelajar.
·
Mempengaruhi
peningkatan penyalahguanaan diantara sesama teman sebaya.
c.
Di
Lingkungan Masyarakat :
·
Tercipta
pasar gelap antara pengedar dan bandar yang mencari pengguna / mangsanya.
·
Pengedar
atau bandar menggunakan perantara remaja atau siswa yang telah menjadi
ketergantungan.
·
Meningkatnya
kejahatan di masyarakat : perampokan, pencurian, pembunuhan sehingga masyarkat
menjadi resah.
·
Meningkatnya
kecelakaan.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN PENYALAHGUNAAN NAPZA
3.1 Kasus
Andra (bukan nama sebenarnya), salah satu
remaja penderita HIV. Dia tertular HIV melalui penggunaan IDU. Andra mengaku
mulai memakai jarum suntik secara bergiliran pada 2002. "Saat itu saya
masih kelas 3 SMP. Saya suka mengonsumsi putauw. Suatu hari, saya lagi nggak
punya duit. Sama teman-teman diajak pakai jarum secara gantian. Lebih murah,
kata mereka," ujarnya. Pesta narkoba pun dimulai bersama teman-temannya.
Aktivitas menyimpang itu dilakoninya selama setahun. Boleh dibilang Andra
termasuk pecandu berat narkoba, terutama jenis putauw. Padahal, dia mengaku
tidak memiliki uang yang cukup tebal untuk mengonsumsi putauw. "Mau tidak
mau, memakai jarum suntik merupakan alternatif bagi saya," tuturnya.
Bagi dia, ngedrugs merupakan medium untuk melupakan persoalan hidup. Andra lahir di tengah keluarga yang kurang harmonis. Dia lebih suka menghabiskan waktu bersama teman-temannya di luar rumah. "Dengan teman-teman saya merasa bisa melakukan apa saja. Mereka tahu apa yang saya mau," tukasnya.
Bagi dia, ngedrugs merupakan medium untuk melupakan persoalan hidup. Andra lahir di tengah keluarga yang kurang harmonis. Dia lebih suka menghabiskan waktu bersama teman-temannya di luar rumah. "Dengan teman-teman saya merasa bisa melakukan apa saja. Mereka tahu apa yang saya mau," tukasnya.
Hidup sarat dengan hedonisme dia lakoni selama
bertahun-tahun. Prestasi sekolah Andra yang terus merosot memacu dirinya terjun
bebas ke narkoba. Apalagi orang tuanya cuek saja dengan segala tindakan yang
dia lakukan. "Aku merasa bebas melakukan apa saja, under controll
pokoknya," ujarnya. Hidup Andra identik bersenang-senang. Pada 2004, dia diajak
teman-temannya melakukan VCT (visite conselling test). "Saat itu aku tidak
tahu untuk apa diajak VCT. Ternyata untuk memeriksakan diri apakah terkena
HIV/AIDS atau tidak," ujarnya.
Ternyata teman-teman Andra itu adalah relawan sebuah LSM yang konsen dengan HIV/AIDS. Mereka prihatin dengan kondisi Andra. Benar saja, dari lima orang yang memeriksakan diri, tiga orang positif HIV termasuk Andra. "Rasanya saya ingin mati saja saat itu," ucap Andra yang waktu itu baru kelas 1 SMA. Sejak divonis itu, Andra merasa hidupnya tidak berarti lagi. Keterputusasaan yang berat meyelimuti dirinya. "Bahkan timbul perasaan jahat dan dendam terhadap teman-teman yang belum terkena HIV untuk menularinya," ujarnya. Untungnya, Andra dapat mengendalikan diri. Dia pun berusaha bangkit untuk bertahan hidup. "Untungnya teman-teman sangat memotivasi saya untuk berobat," ujar Andra yang kini berusia 19 tahun. Satu tahun lamanya Andra menyembunyikan kenyataan itu dari orang tuanya bila dia positif HIV. "Lagipula apa bedanya bila saya ceritakan," ujarnya.
Ternyata teman-teman Andra itu adalah relawan sebuah LSM yang konsen dengan HIV/AIDS. Mereka prihatin dengan kondisi Andra. Benar saja, dari lima orang yang memeriksakan diri, tiga orang positif HIV termasuk Andra. "Rasanya saya ingin mati saja saat itu," ucap Andra yang waktu itu baru kelas 1 SMA. Sejak divonis itu, Andra merasa hidupnya tidak berarti lagi. Keterputusasaan yang berat meyelimuti dirinya. "Bahkan timbul perasaan jahat dan dendam terhadap teman-teman yang belum terkena HIV untuk menularinya," ujarnya. Untungnya, Andra dapat mengendalikan diri. Dia pun berusaha bangkit untuk bertahan hidup. "Untungnya teman-teman sangat memotivasi saya untuk berobat," ujar Andra yang kini berusia 19 tahun. Satu tahun lamanya Andra menyembunyikan kenyataan itu dari orang tuanya bila dia positif HIV. "Lagipula apa bedanya bila saya ceritakan," ujarnya.
Lambat-laun rahasia itu terbongkar. Ibu Andra
mendapati hasil tes VCT-nya yang disimpan di laci meja anaknya itu. "Waktu
itu, ibu mencari obat-obat terlarang itu di kamar saya," ujarnya.
"Saya tidak menyangka reaksi ibu saat mengetahui saya positif HIV. Ibu menangis sesunggukan dan memeluk saya," ungkapnya. Sejak itu, orang tua Andra mulai berubah. Mereka menerima Andra apa-adanya. Mereka berani menerima kenyataan bila anaknya terjangkit penyakit yang distigmakan buruk oleh masyarakat itu. Namun, apa pun perhatian itu, bagi Andra tidak bisa mengembalikan dirinya seperti dulu lagi. Di dalam tubuhnya telah berkembang virus mematikan --yang bila dia tidak aware memperhatikan kesehatannya-- bisa semakin menyerang kekebalan tubuhnya. Kini, Andra punya semangat hidup lagi. Hidup, katanya, harus terus berjalan, meskipun dia sempat pesimistis dengan masa depannya. "Siapa sih yang mau menerima cowok dengan predikat HIV positif?" tanyanya. Beberapa kali Andra mencoba menjalin hubungan dengan teman perempuannya, namun selalu gagal. "Begitu tahu saya terinfeksi HIV, ada yang langsung menjauh, ada juga yang mundur pelan-pelan," ujarnya.
"Saya tidak menyangka reaksi ibu saat mengetahui saya positif HIV. Ibu menangis sesunggukan dan memeluk saya," ungkapnya. Sejak itu, orang tua Andra mulai berubah. Mereka menerima Andra apa-adanya. Mereka berani menerima kenyataan bila anaknya terjangkit penyakit yang distigmakan buruk oleh masyarakat itu. Namun, apa pun perhatian itu, bagi Andra tidak bisa mengembalikan dirinya seperti dulu lagi. Di dalam tubuhnya telah berkembang virus mematikan --yang bila dia tidak aware memperhatikan kesehatannya-- bisa semakin menyerang kekebalan tubuhnya. Kini, Andra punya semangat hidup lagi. Hidup, katanya, harus terus berjalan, meskipun dia sempat pesimistis dengan masa depannya. "Siapa sih yang mau menerima cowok dengan predikat HIV positif?" tanyanya. Beberapa kali Andra mencoba menjalin hubungan dengan teman perempuannya, namun selalu gagal. "Begitu tahu saya terinfeksi HIV, ada yang langsung menjauh, ada juga yang mundur pelan-pelan," ujarnya.
Menurut Andra, tidak mudah hidup di lingkungan
orang yang tidak terkena penyakit berbahaya itu. Selalu ada benang merah antara
ODHA dengan OHIDA (orang yang hidup dengan HIV/AIDS). Meskipun keluarga
menerima Andra apa-adanya, perasaan "berbeda" tetap melekat dalam
hatinya. Andra pun kemudian mencari komunitas yang bisa menampung nasibnya.
"Akhirnya dengan teman-teman sebaya yang aktif memerangi HIV/AIDS, saya
merasa di situlah tempat saya. Tempat saya berkeluh-kesah, bersama, dan berbagi
hidup,"
dikutip dari www.smu_net.com
dikutip dari www.smu_net.com
3.2 Pengkajian
Prinsip pengkajian
yang dilakukan dapat menggunakan format pengkajian di ruang psikiatri atau
sesuai dengan pedoman yang ada di masing-masing ruangan tergantung pada
kebijaksanaan rumah sakit dan format pengkajian yang tersedia. Adapun
pengkajian yang dilakukan meliputi :
a. Perilaku
b. Faktor penyebab dan
faktor pencetus
c. Mekanisme koping yang
digunakan oleh penyalahguna zat meliputi:
·
penyangkalan (denial) terhadap masalah
·
rasionalisasi
·
memproyeksikan tanggung jawab terhadap perilakunya
·
mengurangi jumlah alkohol atau obat yang dipakainya
·
Sumber-sumber koping (support system) yang digunakan oleh klien
3.2 Diagnosa
Keperawatan
Perlu diingat bahwa
diagnosa keperawatan di ruang detoksifikasi bisa berulang di ruang rehabilitasi
karena timbul masalah yang sama saat dirawat di ruang rehabilitasi. Salah satu
penyebab muncul masalah yang sama adalah kurangnya motivasi klien untuk tidak
melakukan penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Hal lain yang juga berperan
timbulnya masalah pada klien adalah kurangnya dukungan keluarga dalam membantu
mengurangi penyalahgunaan dan penggunaan zat.
Masalah keperawatan yang sering terjadi di
ruang detoksifikasi adalah selain masalah keperawatan yang berkaitan dengan
fisik juga masalah keperawatan seperti:
a. Risiko terjadinya
perubahan proses keluarga berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga dalam
merawat anggota keluarga pengguna NAPZA
3.3 Intervensi
Keperawatan
Intervensi untuk diagnose 1 :
Risiko terjadinya
perubahan proses keluarga berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga dalam
merawat anggota keluarga terutama anggota keluarga pengguna NAPZA
·
Tujuan khusus
Keluarga mampu mengenal
dengan baik anggota keluarga pengguna NAPZA.
Intervensi :
1. Bersama keluarga diskusikan
tentang criteria remaja pengguna NAPZA.
2. Latih keluarga
mengenali remaja pengguna NAPZA.
3. Motivasi keluarga
untuk selalu mengenali remaja pengguna NAPZA.
4. Berikan kesempatan bertanya
hal yang belum mengerti.
5. Evaluasi kembali
hal-hal yang sudah didiskusikan.
6. Berikan pujian atas
keberhasilan keluarga selama interaksi.
·
Keluarga mampu mengambil keputusan terhadap remaja pengguna
NAPZA.
Intervensi :
1.
Bersama keluarga diskusikan tentang akibat dari remaja pengguna
NAPZA
2. Latih keluarga
mengenali akibat dari remaja pengguna NAPZA.
3. Motivasi keluarga
untuk selalu mengenali akibat remaja pengguna NAPZA.
4. Berikan kesempatan bertanya
hal yang belum mengerti.
5. Evaluasi kembali
hal-halyang sudah didiskusikan.
6. Berikan pujian atas
keberhasilan keluarga selama interaksi.
·
Keluarga mampu merawat keluarga dengan remaja pengguna NAPZA.
Intervensi :
1. Bersama keluarga diskusikan
tentang cara mencegah dan merawat remaja pengguna NAPZA.
2. Latih keluarga cara
mencegah dan merawat remaja pengguna NAPZA.
3. Motivasi keluarga
untuk selalu mencegah dan merawat remaja pengguna NAPZA.
4. Berikan kesempatan bertanya
hal yang belum mengerti.
5. Evaluasi kembali
hal-hal yang sudah didiskusikan.
6. Berikan pujian atas
keberhasilan keluarga selama interaksi.
·
Keluarga mampu memodifikasi remaja pengguna NAPZA.
Intervensi :
1. Bersama keluarga diskusikan
tentang cara memodifikasi lingkungan rumah remaja pengguna NAPZA.
2. Latih keluarga cara
memodifikasi dari remaja pengguna NAPZA.
3. Motivasi keluarga
untuk selalu melakukan modifikasi remaja pengguna NAPZA
4. Berikan kesempatan bertanya
hal yang belum mengerti.
5. Evaluasi kembali
hal-hal yang sudah didiskusikan.
6. Berikan pujian atas
keberhasilan keluarga selama interaksi.
·
Keluarga mampu menggunakan sumber daya untuk penanganan remaja pengguna
NAPZA.
Intervensi :
1. Bersama keluarga diskusikan
tentang penggunaan sumber daya masy untuk remaja
Pengguna NAPZA.
2. Latih keluarga menggunakan
sumber daya untuk remaja pengguna NAPZA.
3. Motivasi keluarga
untuk selalu menggunakan sumber daya untuk remaja pengguna NAPZA.
4. Berikan kesempatan bertanya
hal yang belum mengerti.
5. Evaluasi kembali
hal-hal yang sudah didiskusikan.
6. Berikan pujian atas keberhasilan keluarga selama
interaksi.
3.4 Evaluasi
Evaluasi
penyalahgunaan dan ketergantungan zat tergantung pada penanganan yang dilakukan
perawat terhadap klien dengan mengacu kepada tujuan khusus yang ingin dicapai.
Sebaiknya perawat dan klien bersama-sama melakukan evaluasi terhadap
keberhasilan yang telah dicapai dan tindak lanjut yang diharapkan untuk
dilakukan selanjutnya.
Jika penanganan yang
dilakukan tidak berhasil maka perlu dilakukan evaluasi kembali terhadap tujuan
yang dicapai dan prioritas penyelesaian masalah apakah sudah sesuai dengan
kebutuhan klien. Klien relaps tidak bisa disamakan dengan klien yang mengalami
kegagalan pada sistem tubuh. Tujuan penanganan pada klien relaps adalah
meningkatkan kemampuan untuk hidup lebih lama bebas dari penyalahgunaan dan
ketergantungan zat. Perlunya evaluasi yang dilakukan disesuaikan dengan tujuan
yang diharapkan, akan lebih baik perawat bersama-sama klien dalam menentukan
tujuan ke arah perencanaan pencegahan relaps.
BAB IV
PENUTUP
2.4
Kesimpulan
Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus
bahkan sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi
yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada
perilaku psikososial yang berhubungan dengan ketergantungan zat. Gejala putus
zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi adalah
peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat
dan toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart dan Sundeen, 1995).
2.5
Saran
Diharapkan kepada
pembaca untuk memberikan kritik dan sarannya agar bermanfaat untulk kita semua
terutama bagi kami penulis. Harapannya tujuan dari makalah ini dapat
memasyarakat dan terimplementasi dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J. (1995). Buku saku diagnosa keperawatan. Edisi 6.
(terjemahan). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Depkes. (2002). Keputusan Menteri kesehatan RI tentang pedoman
penyelenggaraan sarana pelayanan rehabilitasi penyalahgunaan dan ketergantungan
narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
(2001). Buku pedoman tentang masalah medis yang dapat terjadi di
tempat rehabilitasi pada pasien ketergantungan NAPZA. Jakarta: Direktorat
Kesehatan Jiwa Masyarakat Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI.
(2001). Buku pedoman praktis bagi petugas kesehatan (puskesmas)
mengenai penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya
(NAPZA). Jakarta: Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI Direktorat
Jenderal Kesehatan Masyarakat.
Hawari, D. (2000). Penyalahgunaan dan ketergantungan NAZA
(narkotik, alkohol dan zat adiktif). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Rawlins, R.P., Williams, S.R., and Beck, C.K. (1993). Mental
health-psychiatric nursing a holistic life-cycle approach. Third edition. St.
Louis: Mosby Year Book.
tuart, G.W., and Laraia, M. T. (1998). Principles and practice
of psychiatric nursing. Sixth edition. St. Louis: Mosby Year Book.
Stuart, G.W., and Sundeen, S.J. (1995). Principles and practice
of psychiatric nursing. Fifth edition. St. Louis: Mosby Year Book.
Stuart, G.W., and Sundeen, S.J. (1995). Buku saku keperawatan
jiwa. Edisi 3. (terjemahan). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.